12.10.11
Merealisasikan Pendidikan Karakter
Setiap manusia yang terlahir ke dunia merupakan anugrah dan setiap manusia menyandang potensinya masing-masing. Ia akan menjadi manfaat atau tidak untuk dirinya sendiri dan lingkungannya tergantung perlakuan yang diterima dirinya.
Perlakuan inilah yang disebut dengan pendidikan. Kualitas kemanusiaan sangat bergantung dari pendidikan yang diberikan. Semakin berkualitas pendidikan yang diberikan, akan semakin berkualitas pula kualitas sumber daya manusia yang dihasilkan.
Tujuan pendidikan itu sendiri pada hakikatnya tidak hanya menambah pengetahuan, tapi juga secara seimbang harus menanamkan karakter positif terhadap sikap, perilaku, dan tindakan seseorang.
Tujuan pendidikan adalah untuk menghasilkan orang yang baik. Siapakah manusia yang baik itu? Yaitu manusia yang mengenal dirinya, lalu ia mengenal Tuhannya. Ia mengenal potensi yang ada pada dirinya dan mampu mengembangkannya. Pendidikan akan menghasilkan manusia paripurna yang dapat memaknai hakikat dirinya sebagai hamba Tuhan dan makhluk sosial.
Hal ini dimaksudkan agar manusia yang berpendidikan itu cerdas otaknya sekaligus waras perilakunya.
Pendidikan harus kembali kepada fungsi asalnya, yaitu menanamkan karakter positif warga negara sesuai dengan fungsi pendidikan yang tersurat dalam UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pada Pasal 3, yang menjelaskan bahwa pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk karakter serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa.
Intinya, karakter warga negara harus ditopang oleh nilai-nilai moral, sehingga akan tercipta kesalehan sosial.
Karakter yang baik, menurut John Luther, lebih patut dipuji daripada bakat yang luar biasa. Hampir semua bakat adalah anugerah. Karakter yang baik tidak dianugerahkan kepada kita. Kita harus membangunnya sedikit demi sedikit dengan pikiran, pilihan, keberanian, dan usaha keras.
Karakter memang laksana "otot" yang memerlukan latihan demi latihan untuk menjaga dan meningkatkan kualitas kesehatan dan kekuatannya. Oleh karena itu, pendidikan karakter memerlukan proses pemahaman, penanaman nilai, dan pembiasaan, sehingga seorang anak didik dapat mencintai perbuatan baik berdasarkan kesadaran yang timbul dari dirinya.
Dalam kaitan inilah kita melihat banyaknya kekeliruan dan kegagalan dalam konsep dan kebijakan pendidikan nasional yang terlalu mengarahkan anak didik untuk semata-mata terampil menjawab soal.
Anak dihargai tinggi jika mampu menjawab soal-soal ujian. Mata pelajaran diarahkan untuk latihan kognitif semata dengan menjejalkan informasi sebanyak mungkin kepada para siswa.
Pendidikan karakter bukanlah sebuah proses menghafal materi soal ujian dan teknik-teknik menjawabnya. Pendidikan karakter memerlukan pembiasaan dan harus berangkat dari kesadaran masing-masing individu. Sebab, segala sesuatu yang berangkat dari kesadaran akan lebih bertahan lama dibandingkan dengan motivasi yang berasal dari luar dirinya.
Menurut Ratna Megawangi (2007), pendidikan karakter adalah untuk mengukir akhlak melalui proses knowing the good, loving the good, dan acting the good. Yakni, suatu proses pendidikan yang melibatkan aspek kognitif, afektif, dan psikomotorik, sehingga akhlak mulia bisa terukir menjadi habit of the mind, heart, and hands.
Dengan demikian, kurang tepat jika menganggap pendidikan karakter hanya urusan mata pelajaran agama atau PKN. Pendidikan karakter melekat pada mata pelajaran apapun. Bahkan, rasanya tidak adil jika pendidikan karakter hanya dibebankan dan menjadi tanggung jawab institusi sekolah.
Pendidikan karakter harus bermula dan ditanamkan dari lingkungan keluarga, sebab keluarga adalah fondasi utama pendidikan. Betapa pun baiknya pendidikan formal di sekolah, betapa pun sudah didukung oleh perangkat teknologi canggih, jika tidak didukung oleh lingkungan keluarga yang baik, hasilnya tidak akan memuaskan.
Keluarga adalah basis terkecil dari kehidupan bermasyarakat. Pendidikan dalam keluarga harus ditopang juga oleh lingkungan dan masyarakat yang sehat, serta didukung oleh pemerintahan yang bersih.
Meski terkadang pemerintahan yang bersih masih menjadi utopia. Jika tidak begitu, pendidikan karakter akan sulit untuk direalisasikan dan hanya akan menjadi wacana saja.
Perlakuan inilah yang disebut dengan pendidikan. Kualitas kemanusiaan sangat bergantung dari pendidikan yang diberikan. Semakin berkualitas pendidikan yang diberikan, akan semakin berkualitas pula kualitas sumber daya manusia yang dihasilkan.
Tujuan pendidikan itu sendiri pada hakikatnya tidak hanya menambah pengetahuan, tapi juga secara seimbang harus menanamkan karakter positif terhadap sikap, perilaku, dan tindakan seseorang.
Tujuan pendidikan adalah untuk menghasilkan orang yang baik. Siapakah manusia yang baik itu? Yaitu manusia yang mengenal dirinya, lalu ia mengenal Tuhannya. Ia mengenal potensi yang ada pada dirinya dan mampu mengembangkannya. Pendidikan akan menghasilkan manusia paripurna yang dapat memaknai hakikat dirinya sebagai hamba Tuhan dan makhluk sosial.
Hal ini dimaksudkan agar manusia yang berpendidikan itu cerdas otaknya sekaligus waras perilakunya.
Pendidikan harus kembali kepada fungsi asalnya, yaitu menanamkan karakter positif warga negara sesuai dengan fungsi pendidikan yang tersurat dalam UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pada Pasal 3, yang menjelaskan bahwa pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk karakter serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa.
Intinya, karakter warga negara harus ditopang oleh nilai-nilai moral, sehingga akan tercipta kesalehan sosial.
Karakter yang baik, menurut John Luther, lebih patut dipuji daripada bakat yang luar biasa. Hampir semua bakat adalah anugerah. Karakter yang baik tidak dianugerahkan kepada kita. Kita harus membangunnya sedikit demi sedikit dengan pikiran, pilihan, keberanian, dan usaha keras.
Karakter memang laksana "otot" yang memerlukan latihan demi latihan untuk menjaga dan meningkatkan kualitas kesehatan dan kekuatannya. Oleh karena itu, pendidikan karakter memerlukan proses pemahaman, penanaman nilai, dan pembiasaan, sehingga seorang anak didik dapat mencintai perbuatan baik berdasarkan kesadaran yang timbul dari dirinya.
Dalam kaitan inilah kita melihat banyaknya kekeliruan dan kegagalan dalam konsep dan kebijakan pendidikan nasional yang terlalu mengarahkan anak didik untuk semata-mata terampil menjawab soal.
Anak dihargai tinggi jika mampu menjawab soal-soal ujian. Mata pelajaran diarahkan untuk latihan kognitif semata dengan menjejalkan informasi sebanyak mungkin kepada para siswa.
Pendidikan karakter bukanlah sebuah proses menghafal materi soal ujian dan teknik-teknik menjawabnya. Pendidikan karakter memerlukan pembiasaan dan harus berangkat dari kesadaran masing-masing individu. Sebab, segala sesuatu yang berangkat dari kesadaran akan lebih bertahan lama dibandingkan dengan motivasi yang berasal dari luar dirinya.
Menurut Ratna Megawangi (2007), pendidikan karakter adalah untuk mengukir akhlak melalui proses knowing the good, loving the good, dan acting the good. Yakni, suatu proses pendidikan yang melibatkan aspek kognitif, afektif, dan psikomotorik, sehingga akhlak mulia bisa terukir menjadi habit of the mind, heart, and hands.
Dengan demikian, kurang tepat jika menganggap pendidikan karakter hanya urusan mata pelajaran agama atau PKN. Pendidikan karakter melekat pada mata pelajaran apapun. Bahkan, rasanya tidak adil jika pendidikan karakter hanya dibebankan dan menjadi tanggung jawab institusi sekolah.
Pendidikan karakter harus bermula dan ditanamkan dari lingkungan keluarga, sebab keluarga adalah fondasi utama pendidikan. Betapa pun baiknya pendidikan formal di sekolah, betapa pun sudah didukung oleh perangkat teknologi canggih, jika tidak didukung oleh lingkungan keluarga yang baik, hasilnya tidak akan memuaskan.
Keluarga adalah basis terkecil dari kehidupan bermasyarakat. Pendidikan dalam keluarga harus ditopang juga oleh lingkungan dan masyarakat yang sehat, serta didukung oleh pemerintahan yang bersih.
Meski terkadang pemerintahan yang bersih masih menjadi utopia. Jika tidak begitu, pendidikan karakter akan sulit untuk direalisasikan dan hanya akan menjadi wacana saja.
No comments:
Post a Comment