21.2.12

Mengatasi Anak Bandel


Bawaan anak sejak lahir tidak sama. Ada yang cenderung patuh. Ada yang agak bandel. Namun, kalau orang tua mendidiknya secara intensif dan konsisten, maka kebandelan anak tidak akan mencapai tahap yang tidak terkontrol.


Umumnya, anak bandel disebabkan oleh lingkungan yang kurang mendukung. Seperti, (a) orang tua kurang peduli atau peduli tapi melakukan pembiaran karena dianggap masih kecil; (b) lingkungan teman-teman sebaya yang kurang baik; dan (c) pengasuhan anak diserahkan sepenuhnya pada orang lain seperti kakek atau nenek atau pembantu.


Pada dasarnya semua anak dapat dan mudah diatur. Tetapi adanya pembiaran oleh orang tua terhadap kesalahan-kesalahan kecil yang dilakukan saat balita apalagi lingkungan yang kurang mendukung telah menstimulasi kebandelan-kebandelan kecil itu menjadi kenakalan besar. Ujung-ujungnya, anak sulit diatur. Bandel dan keras kepala. Repotnya lagi, saat orang tua sudah kehabisan akal dan merasa tidak mampu mendidik anaknya, mereka lalu menyerahkannya pada lembaga pendidikan atau pesantren.

Apa yang harus dilakukan orang tua pada anak-anak yang salah urus dan bandel seperti itu? Pada usia masuk sekolah, anak dapat dikualifikasikan menjadi dua: pra-remaja (preadolescene atau preteen) dan remaja (adolescene atau teenager). Pra-remaja adalah anak yang usianya berkisar antara 10 sampai 12 tahun. Sedangkan remaja adalah anak dengan usia 12 sampai 21 tahun.

Tangani Sejak Dini

Seorang anak usia di bawah 10 tahun yang bandel akan menjadi anak praremaja yang semakin bandel. Demikian juga seterusnya, anak praremaja yang bandel akan menjadi anak remaja yang lebih bandel lagi kalau dibiarkan. Intinya, tangani kebandelan anak sejak dini. Jangan menunggu waktu sedikitpun sampai kebandelan itu mencapai puncaknya. Namun, apabila sudah terlanjur, maka berikut beberapa tips untuk menangani anak yang bandel atau keras kepala.

Pertama, buka hubungan komunikasi. Kunci dari hubungan yang sehat dan bahagia antara orang tua dan anak remajanya adalah komunikasi. Baik dengan ayah maupun ibu. Dan tanda dari hubungan yang harmonis adalah apabila anak mau berbagi atau melaporkan permasalahan yang dihadapinya di luar rumah pada orang tuanya.

Kedua, dengarkan. Orang tua terbiasa memberi pendapat atau memberi perintah. Coba sesekali menjadi pendengar. Dengarkan apa yang dinginkan anak dan setelah itu beri respons yang semestinya. Keras kepala anak akan berkurang apabila dia merasa didengar. Namun, pada saat yang sama, orang tua harus membatasi perdebatan. Jangan biarkan anak berbicara terlalu lama dan mendominasi. Dengarkan secukupnya dan ambil keputusan. Anak harus tahu bahwa orang tualah yang berkuasa dan punya otoritas tertinggi di rumah.

Ketiga, selektif berdasarkan skala prioritas. Kalau anak melakukan banyak pelanggaran dari aturan yang telah dibuat, maka prioritaskan menangani pelanggaran besar yang harus ditangani lebih dulu. Biarkan pelanggaran kecil dilakukan anak, setidaknya untuk sementara. Pelanggaran besar dapat bersifat universal atau hanya internal dalam keluarga. Tindakan kriminal adalah salah satu contoh pelanggaran besar yang bersifat universal. Utamakan mengatasi hal ini lebih dulu, dibandingkan pelanggaran besar yang bersifat internal.

Keempat, beri kesibukan positif. Ikutkan pelatihan atau kursus keterampilan yang sesuai dengan bakatnya. Jangan biarkan anak bersantai dengan lingkungan yang kurang kondusif. Kelima, berdoa kepada Allah setiap selesai solat lima waktu. Apabila mungkin lakukan solat berjamaah di rumah setiap hari minimal sekali. Dan ajak anak untuk solat tahajjud setiap malam. Bagi seorang muslim, usaha yang maksimal adalah usaha nyata yang diikuti dengan doa kepada yang Maha Kuasa
sumber: blog refleksi

2 comments:

Anonymous said...

ijin share ya bu.. hatur nuhun. Bu Eva (yg lagi galau melihat orang tua yang melakukan pembiaran dengan anak2 mereka)

SDN 2 Bocor said...

nice

Post a Comment

 

©2013 the healing | by eppoh