12.4.12
Pentingnya Komunikasi Dalam Berumah Tangga
Berkomunikasi sudah menjadi bagian yang tidak bisa dipisahkan dari kehidupan anak Adam. Bahkan menurut sebuah penelitian, dari bangun tidur di pagi hari hingga berbaring kembali menjelang tengah malam, 70% waktu bangun kita digunakan untuk berkomunikasi.
Artinya, kualitas hidup kita banyak ditentukan oleh bagaimana kita berkomunikasi dengan sesama; antara suami dan istri, orangtua dan anak, tetangga dengan tetangga lainnya, dan seterusnya. Singkatnya, hidup kita ini ternyata banyak sekali ditentukan oleh bagaimana kita menggunakan mulut kita.
James O. Prochaska dan Carlo C, dalam salah satu bab bukunya membahas problem-problem perkawinan dan perceraian. Menurut mereka, sebagian besar ketidakpuasan perkawinan ternyata bersumber dari masalah komunikasi.
Sebuah pertengkaran antara suami dan istri tercipta, sumbernya adalah karena keduanya gagal mengembangkan komunikasi yang baik. Kegagalan komunikasi (communication breakdowns) ini diawali dengan sikap sang istri yang cenderung memperhatikan dirinya sendiri sehingga luput melihat keadaan suaminya. Pertengkaran itu seharusnya tidak perlu terjadi bila sang istri cepat tanggap dan bersikap sesuai dengan harapan suaminya. Sang suami yang sedang gundah itu berharap mendapatkan teman yang bisa diajak bicara setelah ia merasa cukup menyendiri. Tapi harapan itu buyar karena ulah sang istri. Dan sayangnya, sang suami pun terpancing emosinya.
Dari sudut ilmu komunikasi, salah satu bentuk komunikasi yang paling sering menyebabkan perpecahan keluarga adalah komunikasi kursif. Komunikasi kursif adalah bentuk hubungan dua orang atau lebih yang menyampaikan dengan efek memaksa pada orang yang menerima pesan. Komunikasi kursif adakalanya merupakan cara yang secara sadar dipilih orang untuk memenangkan pendapatnya. Tetapi amat sering orang melakukan komunikasi kursif tanpa menyadari bahwa ia telah melakukan komunikasi dengan efek yang sangat kuat.
Untuk memahami lebih jauh, ada baiknya kita bincangkan ciri-ciri komunikasi kursif.
Pertama, menyalahkan pasangan. Adalah wajar dalam kehidupan ini bila seseorang berbuat salah, termasuk pasangan kita. Sebagai suami atau istri, kita seharusnya merasa perlu menasehati pasangan kita apabila ia berbuat salah. Tapi seringkali orang yang dinasehati justru menjadi marah karena is pemberi nasehat bersikap menyalahkan. Sikap menyalahkan pasangan lebih dekat pada tindakan menilai negatif pribadinya, bukan menunjukkan pada tindakan yang keliru secara spesifik.
Kedua, saling menyalahkan. Komunikasi suami istri akan bertambah runyam jika keduanya sudah saling menyalahkan. Munculnya situasi saling menyalahkan ini mudah dipahami. Kebanyakan dari kita mudah sekali terpancing oleh sikap yang ditunjukkan teman hidup kita, bahkan kadang sikap yang tidak dimaksudkan untuk membuat kita masygul. Kita mudah bereaksi, sehingga berbalas menyalahkan dapat dengan mudah terjadi. Alhasil, tidak ada penyelesaian masalah kecuali menambah gerahnya suasana batin dirumah.
Ketiga, tanpa alternatif. Munculnya sikap menyalahkan dan bahkan saling menyalahkan antara suami dan istri antara lain karena mereka tidak biasa melihat alternatif dalam menghadapi berbagai masalah. Mereka cenderung melihat masalah dalam satu arah, sehingga tidak bisa berpikir secara tenang dan sejuk tentang apa yang diharapkan, apa yang terbaik, dan bagaimana mencapai yang terbaik.
Keempat, sangat sensitif terhadap kritik. Yang menyebabkan komunikasi tidak bisa berjalan dengan lancar, khususnya dalam membicarakan masalah-masalah, adalah jika salah satu pihak begitu sensitif terhadap kritik. Akibatnya mereka tidak mampu berdiskusi dan mendapatkan titik temu. Begitu peka terhadap kritik berbeda dengn cepat menyadari kritik. Umar bin Khattab r.a. adalah orang yang mudah sekali tersentuh oleh kritik yang dilontarkan kepadanya, hatta si penyampai adalah seorang perempuan tua. Sahabat lain ketika diingatkan Nabi karena mengatakan Bilal r.a sebagai budak hitam segera menelungkupkan kepalanya di tanah mempersilakan Bilal untuk menginjaknya.
Kelima, cara berpikir "semua salah". Seseorang bisa saja mengalami kekacauan berpikir karena terkontaminasi sesuatu. Psikolog menyebut pikiran tercemar dalam memahami informasi dan menarik kesimpulan sebagai ‘distorsi kognitif’. Cara berpikir " semua salah atau semua benar" adalah salah satu bentuk distorsi kognitif. Cara berpikir "semua salah" memandang satu dua peristiwa sebagai keseluruhan. Jika anda di kritik beberapa orang karena warna pakaian yang anda kenakan, anda mengatakan: "semua orang telah mengkritik saya." Jika anda beberapa kali mendapat kritik, anda mengatakan, "SELALU saya yang dikritik."; "Saya memang TIDAK PERNAH benar. Saya SELALU salah."
Keenam, komunikasi kursif terjadi antara lain karena kita enggan mencari akar masalah. Akibatnya kita tidak dapat memahami dengan sungguh-sungguh mengapa masalah itu muncul dan tidak hilang-hilang. Mencari akar masalah memang tidak enak. Mengakui diri sendiri berbuat salah, melakukan sesuatu yang bodoh atau sejenisnya merupakan pekerjaan yang sangat berat, malah paling berat. Pengakuan ini jauh lebih susah dilakukan daripada mengatakan kepada teman hidup kita, " Ya sudah, aku akui. Aku memang salah. Aku memang salah, kok."
Ketujuh, tanpa jangkauan kedepan. Orang berpikir secara seksama implikasi dari tindakan saat ini ke masa depan cenderung berhitung secara lebih matang. Ada tidaknya jangkauan berpikir ke masa depan atau yang amat jauh didepan sangat menentukan kesabaran dan kecermatan kita. Jangkauan yang jauh kedepan juga membuat kita lebih tenang dan lebih mampu menjaga keseimbangan berpikir, lebih betah mencari alternatif saat menemui masalah dan lebih tahan mencari akar masalah.
Kedelapan, cara berbicara. Cara kita berbicara bisa menimbulkan efek kursif. Sadar atau tidak, kita memakai kata-kata yang tidak bisa dielakkan oleh orang lain, kata yang tidak bisa dibantah karena merupakan kebenaran umum tetapi mengandung kesalahan untuk perkara-perkara khusus, serta jenis-jenis kalimat tanya tak tanya.
No comments:
Post a Comment